Selasa, 18 Juni 2013

Tulisan Hubungan industrial Pancasila

Memaksimalkan Outsourcing di Indonesia
Dengan iklim usaha yang relatif kurang kondusif seperti saat ini, daya saing industri mau tidak mau harus dapat ditingkatkan. Banyak pertanyaan mengapa relatif sedikit perusahaan Indonesia yang dapat berperan secara regional atau bahkan internasional. Sumber daya manusia ? rasanya tidak tepat banyak pegawai perusahaan regional yang memanfaatkan jasa SDM Indonesia. Bahkan pegawai dari Indonesia terkenal memiliki etos kerja yang baik disamping skill dan pengetahuan yang cukup memadai.

Outsourcing adalah salah satu usaha meningkatkan efesiensi perusahaan. Banyak perusahaan saat ini hanya melakukan outsourcing untuk mengurangi jumlah pegawai tetap. Dengan tindakan ini pada dasarnya perusahaan hanya meng-outsource resiko sosial dari sistem ketenagakerjaan di Indonesia . Dengan outsource perusahaan tidak ingin dibebani kewajiban – kewajiban yang mengiringi penerapan UU Ketenaga kerjaan. Jelas hal seperti ini tidak akan meningkatkan daya saing. Bahkan sering terjadi karyawan outsource yang ingin berprestasi menjadi padam motivasi kerjanya karena sistem outsourcing, sehingga jarang didapatkan pegawai outsource jenis ini memiliki kinerja yang baik.

Dengan latar belakang ini banyak perusahaan mulai memikirkan untuk berubah menuju outsourcing pekerjaan.Seorang manajer di perusahaan minyak pernah share pengalamannya mengenai pendekatan ini. Ketika perusahaannya melakukan outsource pekerjaan welding, biaya meningkat tapi dilain sisi kualitas pekerjaan meningkat dan jumlah cacat menurun yang pada akhirnya meningkatkan efesiensi dibandingkan sebelum melakukan outsourc. Kesimpulan: Dengan outsourcing biaya sebenarnya akan naik namun output yang dihasilkan akan meningkat melebihi kenaikkan biaya yang ditimbulkan. Hal ini bisa dibayangkan : jika anda memiliki seseorang analis pasar maka ia akan bekerja 10% dari waktunya untuk melakukan analisis pekerjaan sedangkan 90% waktunya untuk hal – hal yang diluar pekerjaannya termasuk menganggur dan browsing internet, sebaliknya dengan outosourcing perusahaan menghire orang – orang yang 100% waktunya memikirkan analisa pasar.Secara output per performance anda akan membayar lebih rendah.

Jika strategi dan arah perusahaan dalam penerapan outsourcing sudah ditetapkan pada arah yang benar tantangan berikut adalah memilih vendor yang tepat. Hal yang menarik dari pengalaman rekan kerja saya di perusahaan pulp terkemuka ketika perusahaannya melakukan outource maintenance genset. Ketika ia menggunakan perusahaan lokal sering terjadi masalah, dan ketika ada masalah tidak tersedia solusi backup sehingga jadwal perkerjaannya banyak yang terganggu. Akhirnya perusahaan memutuskan untuk menggunakan vendor dari Singapura dengan biaya 2 kali lipat. Tapi kualitas yang didapat sangat baik sehingga walaupun baik produktifitas tetap tercapai. Saya jadi berpikir apakah bangsa ini memang tercipta untuk menjadi bangsa yang kalah ?

Sebenarnya jika dipikir wajar vendor Singapura memiliki performa lebih baik, memang mereka dibayar 2 kali lipat. Jika kita menggunakan vendor Indonesia dengan bayaran yang sama mungkin cerita akan lain, atau bisa juga sama buruknya. Sebenarnya kekurangan pendekatan dengan vendor lokal dapat diperbaiki dengan hubungan yang bersifat partnership. Dalam kasus diatas hubungan vendor -perusahaan bersifat transactional, yang artinya perusahaan akan membayar dengan nilai tertentu dengan balasan layanan sesuai spesifikasi. Dalam hubungan partnership vendor – perusahaan saling terbuka dan saling membantu untuk menghasilkan customer value yang terbaik. Diagram customer value dapat digambarkan sebagai berikut:

Semakin cepat perusahaan beralih ke pendekatan partnership akan semakin baik customer value yang dihasilkan. Dengan pendekatan ini pula kita bisa mendapatkan vendor yang baik dengan harga yang relatif murah juga. Dan dengan semakin besarnya peran internet, jangan sampai perusahaan anda tidak memanfaatkan tool yang sangat efektif ini.

Contoh kasus yang paling menarik menggunakan pendekatan ini adalah bagaimana toyota mengalahkan GM dan Ford dinegaranya sendiri. Hubungan Toyota dengan vendor adalah hubungan partnership dimana toyota berusaha membantu vendornya untuk selangkah lebih baik, sedangkan GM dan Ford menggunakan hubungan transactional. Aibatnya vendor Toyota menghasilkan produk yang jauh lebih baik, bahkan anehnya walaupun GM menggunakan vendor yang sama dengan Toyota, produk yang dideliver untuk toyota tetap lebih baik dibandingkan yang dideliver untuk

Di lain sisi, saat ini internet telah berkembang sedemikian rupa sehingga dapat merubah landscape dari business termasuk outsourcing industri. Pastikan perusahaan anda memaksimalkan internet sebagai sarana bersaing anda. Semoga pemikiran singkat ini bermanfaat.
SUMBER : http://training.primesynergie.com/memaksimalkan-outsourcing-di-indonesia.html

Hubungan Industrial Pancasila

Materi 8
Pemberian Upah dan Kesejahteraan Buruh
A.   Pengertian Upah dan Upah yang Wajar
Dalam Undang-undang dasar 1945 pasal 27 ayat (2) telah ditentukan landasan hukum sebagai berikut: “Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “. Dengan demikian maka upah yang harus diterima oleh buruh atau tenaga kerja kita atas jasa-jasa yang dijualnya haruslah berupa upah yang wajar.
Dalam hokum perupahan, kita mengenal beberapa macam  perupahan, agar supaya kita dapat mengerti sampai dimana batas-batas suatu upah dapat diklasifikasikan sebagai upah yang wajar, maka sebaiknya kita mengerti dahulu beberapa pengertian tentang upah tersebut.
Menurut Undang-undang Kecelakaan no.33 tahun 1947, yang dimaksudkan dengan istilah upah adalah :
a.       Tiap pembayaran berupa uang yang diterima oleh buruh sebagai ganti pekerjaan.
b.      Perumahan, makan, bahan.makanan dan pakaian dengan cuma-cuma yang nilainya ditaksir menurut harga umum ditempat itu. 
Batasan tentang upah menurut Dewan Penelitian Perupahan adalah sebagai berikut : Upah itu merupakan suatu penerimaan sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada penerima kerja untuk sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah dan atau akan dilakukan, yang berfungsi sebagai jaminan kelangsungan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan produksi, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang telah ditetapkan menurut suatu persetujuan Undang-undang dan Peraturan-peraturan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pemberi kerja dan penerima kerja.
B.   Peranan Upah dalam Suatu Perusahaan
Upah dalam arti yuridis merupakan balas jasa yang merupakan pengeluaran-pengeluaran dari pihak pengusaha, yang diberikan kepada para buruhnya atas penyerahan jasa-jasa dalam waktu tertentu kepada pihak pengusaha.
Jadi dalam hal pengupahan dalam suatu perusahaan akan terdapat beberapa pihak yang secara langsung dan tidak langsung telibat dalam masalah-masalahnya.
            Yang secara langsung terlibat, ialah :
a.       Pihak pengusaha atau badan usaha/perusahaan yang mempekerjakan para buruhnya dalam hal ini bagi pihak pengusaha upah itu merupakan unsure pokok dalam perhitungan ongkos produksi dan merupakan komponenharga pokok yang sangat menetukan kehidupan perusahaan.
b.      Pihak buruh yang dapat dikatakan selalu mengharapkan upah,
1.      Upah itu merupakan penghasilan dan pendorong bagi kegiatan kerja
2.      Upah itu menggambarkan besar kecilnya sumbangan para buruh terhadap perusahaan.
3.      Upah itu merupakan lambing buruh.
Adapun pihak-pihak yang secara tidak langsung terlibat dalam masalah perupahan, yaitu:
a.       Organisasi Perburuhan
b.      Pemerintah
Bagi organisasi buruh, upah mencerminkan berhasil tidaknya pencapaian salah satu tujuan  dan merupakan salah satu faktor penting untuk mempertahankan adanya organisasi tersebut. Organisasi nuruh yang Pancasila memperjuangkan beberapa faktor yang lebih luas, yaitu :
a.       Upah yang dapat mensejahterkan para buruh beserta keluarganya.
b.       Peningkatan keterampilan dan kecakapan buruh agar kehidupan buruh dapat lebih meningkat.
c.       Dengan itikad yang tulus mewujudkan perdamaian dalam lingkungan perusahaan, agar dengan demikian perusahaan dapat berkembang dan perkembangan ini akan dapat member kehidupan bagi buruh yang lamadan memberi kesempatan bagi buruh baru sepanjang kurun waktu kehidupan perusahaan tersebut.
C.   Upah dan Pendapatan
Secara umum weges atau upah adalah merupakan pendapatan, akan tetapi pendapatan itu tidak selalu harus upah dalam pengertian weges. Pendapatan itu merupakan jenis penghasilan lain, umpanya keuntungan dari hasil penjualan barang yang dipercayakan kepada seseorang. Pendapatan yang dihasilkan oleh buruh atas pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang telah ditentukan sesuai perjanjian kerja disuatu perusahaan.
Dalam menjalin hubungan kerja yang baik, mengenai masalah upah ini pihak buruh hendaknya memikirkan pula keadaan dalam perusahaannya, dalam keadaan perusahaan belum berkembang adanya upah yang layak yang diberikan perusahaan itu yang sesuai dengan upah untuk pekerjaan sejenis diperusahaan-perusahaan lainya.
            Jenis-jenis upah dapat dikemukakan sebagai berikut :
a.       Upah Nominal
Yang dimaksud upah nominal adalah sejumlah uang yang dibayarkan kepada par buruh yang berhak secara tunai sebagai mbalan atas pengerahanjasa-jasa atau peleyanan yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam suatu organisasi kerja.
b.      Upah Nyata (Real Weges)
Yang dimaksud upah nyata ialah uapah yang benar-benar harus diterima oleh seseorang yang berhak.
c.       Upah Hidup
Dalam hal ini upah yang diterima seorang buruh ini relative cukup untuk membiayai keperluan hidup yang lebih luas, yang tidak hanya kebutuhan pokoknya saja yang dapat dipenuhi melainkan juga sebagian dari kebutuhan social keluarganya, misalnya bagi pendidikan, bagi bahan pangan yang memiliki nilai gizi yang lebih baik,
d.      Upah Wajar (Fair Weges)
Upah wajar dimaksudkan sebagai uaph yang secara relatif bernilai cukup wajar oleh pengusaha dan oleh para buruh sebagai uang imbalan atas jasa-jasa yang diberikan buruh kepada pengusaha, sesuai dengan perjanjian kerja diantara mereka.

Sumber : http://yulandini.wordpress.com/2010/04/08/bab-5-10-hubungan-industrial-pancasila/

Hubungan Industrial Pancasila

Materi 7
Perundang-Undangan Ketenagakerjaan
A.   Ketentuan-Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan (Undang-Undang No.14 Tahun 1969 )
1.      Penyediaan, Penyebaran dan Penggunaan Tenaga Kerja
Setiap tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Setiap tenaga kerja bebas memilih dan atau pindah pekerjaan sesuai dengan keinginana, bakat dan kemampuannya.
Pemerintah berkewajiban mengatur penyediaan tenaga kerja dalam kualitas dan kuantitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah berkewajiban mengatur penyebaran tenaga kerja sedemikian rupa, sehingga memberi dorongan ke arah penyebaran tenaga kerja secara efisien dan efektif. Merupakan kewajiban pemerintah pula mengatur penggunaan tenaga kerja secara penuh dan produktif agar tercapai pemanfaatan yang sebesar-besarnya dengan menggunakan prinsip “Tenaga kerja yang tepat untuk pekerjaan yang tepat”.
2.      Pembinaan Keahlian dan Kejuruan
Setiap tenaga kerja berhak atas pembiaan keahlian dan kejuruan yang bertujuan agar tenaga kerja dapat menambah keahlian dan keterampilan kerja sehingga tenaga kerja tersebut potensi serta kreasinya dapat dikembangkan dalam rangka mempertinggi kecerdasan dan ketangkasan kerja sebagai bagian yang tak terpisahkan dari pembinaan bangsa.
Pemerintah mengatur pembianaan keahlian dan kejuruan yang disesuaikan dangan perkembangan teknik, teknologo dan perkembangan masyarakat pada umumnya.
3.      Pembinaan dan Perlindungan Tenaga Kerja
            Setiap tenega kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan kesusilaan, pemeliharaan tenaga kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama.
            Untuk mangsud tersebut diatas maka pemerintah membina perlindungan tenaga kerja yang mencangkup : norma kerja, norma kesehatan dan pemberian ganti rugi, perawatan dan rehabilitasi dalam kecelakaan kerja.
4.      Hubungan Ketenagakerjaan
Setiap tenaga kerja berhak mendirikan dan menjadi anggota serikat pekerja. Pembentukan serikat pekerja dilakukan secara demokratis. Kerena itu pengusaha atau siapa saja tidak dapat menbatasi, menhilangkan dan mencampuri hak tersebut.
Serikat pekerja berhak mengadakan kesepakatan kerja bersama (Penjanjian Perburuan) dengan pengusaha. Apabila serikat pekerja mengajukan kepada pengusaha secara tertulis untuk mendapatkan kesepakatan kerja bersama, maka pengusaha wajib melayaninya.
Penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock-out diatur dengan peraturan perundangan. Sampai sekarang belum ada peraturan yang baru sehingga dipakai aturan yang diatur Undang-undang No.22 tahun 1957.
Norma pemutusan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan industrial (perburuan) diatur dengan peraturan perundangan. Sampai sekarang pengaturan pemutusan hubungan tenaga kerja dan perselisihan hubungan industrial masih menggunakan undang-undang No.12 tahun 1964 dan undang-undang No.22 tahun 1957.
Pemerintah juga mengatur penyelenggaraan pertanggungan social dan bantuan social bagi tenaga kerja dan keluarganya. Untuk pelaksanaannya telah dikeluarkan Undang-undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) No.3 tahun 1992.
5.      Pengawasan Pelaksanaan
Untuk menjamin pelaksaaan pengaturan ketenagakerjaan diadakan suatu system pengwasan tenaga kerja. Untuk pengawasan ketenagakerjaan sampai sekarang digunakan Undang-undang No. 3 tahun 1951.
Setiap peratururan perundangan yang merupakan pelaksanaan dai ketentuan pokok ketenagakerjaan ini dapat memuat ancaman hukuman kurungan selama lamanya 3(tiga) bulan atau denda setinggi tingginya Rp 100.000,-(Seratus ribu rupiah ).
B.   Wajib Lapor Ketenagakerjaan (Undang-undang No.7 tahun 1981)
1.      Kewajiban Melapor
a.       Setiap pengusaha atau pengurus perusahaan wajib melaporkan secara tertulis kepada Merteri Tenaga Kerja atau pejabat yang ditunjuk mengenai keadaan ketenagakerjaan perusahaannya. Keadaan ketenagakerjaan tersebut seperti :
-          Identitas Perusahaan
-          Hubungan Ketenagakerjaan
-          Perlindungan Tenaga Kerja
-          Kesempatan Kerja
b.      Yang dimaksud dengan perusahaan disini yaitu setiap bentuk usaha yang mempekerjakan tenaga kerja baik yang mencari untung atau bukan baik milik swasta maupun milik negera. Jadi setiap bentuk usaha asal mempekerjakan tenaga kerja (buruh) walaupun tidak mencari keuntungan seperti yayasan, sekolah, rumah sakit dan lain-lain digoloongkan dsebagai perusahaan dan pengusaha serta pengurus wajib melaporkan keadaan ketenagakerjaan perusahaannya.
2.      Waktu Melaporkan
a.       Kewajiban melapor keadaan ketenagakerjaan tersebut dilakukan setiap tahun baik waktu mendirikan , memindahkan, menghentikan, menjalankan kembali maupun membubarkan perusahaan.
b.      Kewajiban melapor tersebut dilakukan selambat-lambatnya 30 hari setelah mendirikan dan 30 hari sebelum memindahkan dan membubarkan perusahaan
Yang dilaporkan dalam  memindahkan, menghentikan atau membubarkan perusahaan antara lain :
-          Identitas Perusahaan
-          Alasan pemindahan, penghentian dan pembubaran
-          Kewajiban yang telah atau akan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangan.
3.      Maksud dan Tujuan Melaporkan
Maksud dan tujuan melaporkan adalah agar pemerintah mendapat informasi yang resmi yang dapat digunakan untuk menetapkan kebijakan ketenagakerjaan baik untuk menindak lanjuti akibat pembubaran maupun menetapkan kebijaksanaan nasional yang akan datang mengenai ketenagakerjaan.
Apabila perusahaan secara tertib melaporkan keadaan ketenagakerjaan perusahaannya, maka pemerintah akan memperoleh informasi lengkap tentang ketenagakerjaan dan dengan laporan yang berlanjut untuk setiap tahun, maka pemerintah akan memperoleh gambaran tentang kecenderungan yang sedang terjadi sehingga dapat memperkirakan keadaan yang bakal terjadi. Dengan demikian pemerintah akan membuat kebijaksanaan untuk mengantisipasi keadaan tersebut.
4.      Pelanggaran dan Ancaman Hukuman
Pengusaha atau pengurus perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban seperti :
a.       Tidak melapor selambat-lambatnya 30 hari bila mendirikan perusahaan
b.      Tidak melapor setiap tahun sesuai ketentuan
c.       Tidak melaporkan dalam jangka waktu 30 hari sebelum memindahkan, menghentikan dan mmbubarkan perusahaan
Diancam hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000
C.   Peraturan Perundang-undangan Hubungan Industrial Pancasila
Sesuai dengan pedoman pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila, berikut ini dipaparkan tentang pengupahan dan permasalahannya :
            Kedudukan, fungsi dan arti upah
-          Kedudukan dan fungsi upah adalah sebagai hak bagi pekerja dan kewajiban bagi perusahaan yang merupakan sarana untuk memelihara, melestarikan dan meningkatkan kebutuhan hidup manusia, ditetapkan atas dasar nilai-nilai tugas seorang pekerja dengan memperhatikan keseimbangan prestasi, kebutuhan kerja dan kemampuan perusahaan.
-          Yang dimaksud dengan upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja untuk suatu pekerjaan dan jasa yang telah atau dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut suatu persutujan atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja termasuk tunjangan baik untuk pekerja sendiri maupun keluarganya ( PP nomor 8 tahun 1981).
Kriteria dalam Menentukan Upah
-          Struktur upah perlu disederhanakan dan diupayakan agar upah pokok lebih besar dari tunjangan lainnya
-          Idealnya, diperlukan penentuan komponen upah secara umum yang dapat digunakan untuk setiap pekerjaan dan keperluan. Tetapi kenyataannya hal ini sukar untuk dilakukan karena perbedaan prinsip –prinsip penggunaannya. Karena itu diperlukan kertaan komponen upah menurut keperluannya masing-masing yaitu :
Untuk keperluan perhitungan upah pada waktu  tidak masuk bekerja dengan hak upah antara lain, upah lembur, pensiun, tunjangan hari tua atau bonus tahunan, cuti tahunan, sakit di rumah sakit, dan lain sebagainya bahan pertimbangan pemerintah. Mengingat bahwa di Indonesia klasifikasi jabatan belum di laksanakan secara meluas sehingga bagi perusahaan tertentu tidak ada system yang jelas dalam menentukan jumlah pengupahan
                        Sistem pekerja dan sistem pengupahan
-          Pada dasarnya system pengupahan dapat ditetapkan menurut waktu atau berdasarkan upah potongan atau borongan atau kombinasi-kombinasinya. Dengan demikian jelas sistem pengupahan tidak boleh dikaitkan dengan dengan status atau kedudukan pekerja.
-          Apabila suatu pekerjaan oleh perusahaan diserahkan oleh kontraktor, maka perusahaan yang mengontrakkan pekerjaan tersebut wajib mengetahui tentang status hukum dari perusahaan konteraktor tersebut, telah menjalankan wajib lapor perusahaan.
D.   Jaminan Sosial Tenaga Kerja
A.    Pengertian dan Ruang Lingkup
      Jaminan social adalah jaminan yang diberikan kepada seseorang atas resiko social yang dialaminya. Rrsiko social itu seperti kehilangan mata pencaharian umpamanya karena salit, kecelakaan, karena sudah tua dan meninggal dunia. Resiko social itu jaga menyebabkan bertambahnya pengeluaran.
      Pelaksaan jaminan itu berbeda-beda di antara satu Negara dengan Negara lainnya. Hal itu tergantung dengan tradisi, sejarah, perkembangan social ekonomi, kemauan politik dan falsafah dari Negara tersebut. Biasanya jaminan social itu dapat berbentuk antara lain :
-          Jaminan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
-          Jaminan Pendidikan dan Pelatihan
-          Tunjangan istri dan anak
-          Pakaian kerja dan makan di tempat kerja
-          Koperasi Karyawan
B.     Program yang Bersifat Wajib
1.      Ketentuan yang bersifat wajib
      Untuk memberikan perlindungan yang maksimal kepada pekerja maka biasanya JAMSOSTEK di suatu  negara bersifat wajib, bersifat nasional dan memberikan jaminan dasar. JAMSOSTEK yang bersifat wajib dan nasional mempunyai keuntungan antara lain :
a.       Dengan skala besar maka akan didapat manfaat secara ekonomis yaitu dengan skala besar ongkos per unit akan lebih murah dari pada dilaksanakan oleh masing-masing perusahaan.
b.      Dengan dilaksanakan secara nasional merupakan perwujudan kesetiakawanan nasional dan kegotong - royongan.
c.       Penyelenggaraan JAMSOSTEK yang berskala nasional dan dijamin oleh negara maka jaminan terselanggaranya program akan lebih besar dibandingkan apabila diselenggarakan oleh perusahaan.  

Sumber : 

http://cintyasherry.wordpress.com/2012/10/08/analisa-undang-undang-tenaga-kerja-no-13-tahun-2003/

Minggu, 28 April 2013

KETENEGAKERJAAN

           Upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam mengatasi krisis yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 hingga 1998 diakui telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang cukup signifikan. Selama tahun 2000-2007, perekonomian Indonesia telah tumbuh dengan kisaran antara 4 – 5 persen pertahun, yang terutama disebabkan menguatnya peran investasi dan ekspor. Indikator-indikator ekonomi lainnya juga menunjukkan perbaikan yang signifikan. Inflasi rata-rata tahunan mengalami penurunan dari 9,35 persen pada tahun 2000 menjadi 6,59 persen pada tahun 2007. Suku bunga SBI (1 bulan) mengalami penurunan dari 14,5 persen pada tahun 2000 menjadi 8,00 persen pada tahun 2007. Demikian juga jika diamati dari nilai tukar rata-rata tahunan mata uang rupiah terhadap dollar, dimana pada periode krisis (1998) sebesar 10.210 telah menjadi 9.140 pada tahun 2007 (Laporan Tahunan Bank Indonesia, berbagai tahun).
Namun demikian, dalam konteks ketenagakerjaan, berbagai perbaikan pada indikator makroekonomi tersebut ternyata belum memberikan dampak yang menggembirakan terhadap penciptaan kesempatan kerja. Hal ini terlihat dari kenyataan meningkatnya angka pengangguran baik secara absolut maupun relatif. Pada tahun 2000 tingkat pengangguran terbuka sebesar 6,08 persen menjadi 9,67 persen pada tahun 2003 dan 9,75 persen pada tahun 2007. Secara absolut, pengangguran terbuka bertambah sebanyak 4,74 juta dari 5,81 juta pada tahun 2000 menjadi 9,53 juta pada tahun 2003 dan 10,55 juta pada tahun 2007. (Statistik Indonesia berbagai tahun, Badan Pusat Statistika).
Pasar kerja di Indonesia – sebagaimana karakteristik umumnya negara sedang berkembang – bersifat dualistik. Lapangan kerja sektor modern (formal) dengan jumlah tenaga kerja yang relatif sedikit dan sektor tradisional (informal) dengan jumlah tenaga kerja yang besar, berjalan secara bersamaan dalam perekonomian. Sektor modern memiliki upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan sektor tradisional. Selain itu, pekerja sektor modern memiliki kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan akses terhadap pelatihan sehingga memiliki peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan kegiatan yang rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan produktivitas-upah antara sektor modern dan sektor tradisional juga mencerminkan perbedaan tingkat pendidikan. Pekerja sektor modern berpendidikan lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor tradisional.
Oleh karenanya, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait dengan upaya perluasan kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya memfasilitasi perpindahan ’surplus tenaga kerja’ keluar dari sektor informal ke sektor modern yang lebih produktif dan memberikan upah yang lebih tinggi. Perpindahan surplus tenaga kerja dari sektor informal ini selain bertujuan meningkatkan hak-hak tenaga kerja juga menjadi tujuan utama dari siklus pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut secara selaras, maka dalam konteks kebijakan tenaga kerja di Indonesia, perlu dijalin keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.
Tulisan ini menganalisis kebijakan tenaga kerja di Indonesia dalam kaitannya dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Diawali dengan pembahasan mengenai trade-off antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Dilanjutkan dengan analisis mengenai kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia khususnya UU No. 13 Tahun 2003. Selanjutnya, pada bagian akhir adalah rekomendasi dalam penerapan kebijakan ketenagakerjaan yang berorientasi pada keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.
TRADE-OFF ANTARA PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Perlunya kebijakan perlindungan tenaga kerja didasarkan pada kenyataan bahwa setiap pekerja menghadapi berbagai risiko, baik di dalam maupun di luar pekerjaan. Risiko-risiko tersebut berpotensi menurunkan tingkat kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Beberapa risiko pasar kerja (labor market risks) yang utama adalah:
Risiko kehilangan pekerjaan (unemployment risks): Kehilangan pekerjaan dapat terjadi baik karena faktor kinerja individu, kinerja perusahaan maupun karena faktor ekonomi makro. Kehilangan pekerjaan akan berdampak secara langsung pada penurunan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Risiko kesehatan (health risks): Risiko kesehatan yang berdampak pada penurunan/kehilangan sumber pendapatan dari seorang pekerja dapat terjadi baik pada saat sedang bekerja maupun di luar pekerjaan.
Risiko penurunan upah riil (declining wage risks): Penurunan upah riil adalah penurunan daya beli, sehingga secara langsung menurunkan tingkat kesej ahteraan pekerja dan keluarganya. Penurunan upah riil dapat terjadi karena pemotongan tingkat upah atau karena laju inflasi yang lebih tinggi dari kenaikan upah nominal.
Risiko usia lanjut (old-age risks): Dampak menjadi tua bagi seorang pekerja adalah menurunnya tingkat produktivitas, dan kehilangan pekerjaan ketika kondisi fisik sebagai akibat faktor usia tidak memungkinkan lagi bagi pekerja tersebut untuk bekerja. Ini berarti bahwa semakin tua seorang pekerja akan menyebabkan risiko menurunnya/kehilangan pendapatan mereka.
Risiko-risiko tersebut dapat bersifat individual pekerja ataupun melibatkan banyak pekerja. Munculnya risiko-risiko tersebut dapat berkaitan dengan kondisi individu, kondisi mikro perusahaan ataupun kondisi perekonomian secara makro yang tidak menguntungkan. Oleh karenanya, tujuan dari kebijakan perlindungan tenaga kerja adalah untuk meminimalkan dampak negatif dari berbagai risiko pasar kerja terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Secara garis besar, kebijakan perlindungan pekerja dapat dikelompokkan ke dalam pengaturan hubungan pekerjaan (employment relations) dan penyediaan jaminan sosial (social security).Kebijakan hubungan pekerjaan atau hubungan industrial umumnya mencakup pengaturan dan syarat- syarat hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja, mulai dari rekrutmen, interaksi selama masa kerja, sampai dengan pemutusan hubungan kerja (PHK). Bentuk-bentuk jaminan sosial umumnya terdiri dari tabungan wajib hari tua (provident fund), asuransi kesehatan (health insurance), asuransi kematian (life insurance), kompensasi atau asuransi kecelakaan kerja (work accident insurance), pesangon untuk pemutusan hubungan kerja atau asuransi pengangguran (unemployment insurance), dan lain-lain.
Biaya-biaya yang timbul sebagai akibat kebijakan perlindungan tenaga kerja baik dari sisi pengaturan hubungan kerja maupun penyediaan jaminan sosial, ditanggung sepenuhnya atau sebagian besar oleh pemberi kerja. Oleh karenanya, dilihat dari sudut pandang pemberi kerja penerapan kebijakan ini menambah terhadap total biaya tenaga kerja (labor costs).

Sebagai akibat dari hal ini, apabila kebijakan pelindungan pekerja terlalu berlebihan maka dapat timbul dampak negatif yang tidak diinginkan. Dari sudut pandang pemberi kerja, meningkatnya total biaya tenaga kerja yang terlalu besar dapat menjadi hambatan (disincentive) terhadap penciptaan kesempatan kerja. Sebaliknya bagi pekerja, kebijakan pelindungan pekerja yang terlalu berlebihan dapat menjadi hambatan untuk bekerja. Bagi perekonomian secara makro, hal ini dapat menciptakan kekakuan (inflexibility) dalam pasar kerja.
Berbagai fakta di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan perlindungan tenaga kerja yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap kesempatan kerja (Suharyadi,2003). Di negara-negara Eropa Barat, penerapan kebijakan pemberian tunjangan pengangguran yang relatif tinggi (generous) telah berdampak pada tingginya tingkat pengangguran. Di Bangladesh, kebijakan yang melarang pekerja anak di bawah usia 15 tahun, berdampak pada pemecatan pekerja anak secara besar-besaran yang justru menyebabkan anak-anak ini terpaksa menjadi anak-anak jalanan dan berubah profesi menjadi pengemis atau pekerja seks komersial. Demikian juga, larangan bagi pemberi kerja untuk merekrut pekerja yang bukan anggota serikat pekerja di sektor pelabuhan di Australia menyebabkan pasar kerja di sektor ini menjadi bersifat monopsonistik sehingga efisiensi sektor secara keseluruhan menjadi rendah. Studi pada skala makro pada 48 negara juga menunjukkan fakta adanya hubungan negatif antara banyaknya kebijakan perlindungan tenaga kerja dengan pertumbuhan kesempatan kerja dan kenaikan upah riil.
Oleh karena itu, pembuatan kebijakan perlindungan pekerja perlu didasarkan pada kebutuhan riil pekerja terhadap perlindungan, dengan memperhitungkan seberapa besar dan siapa yang akan menanggung biaya kebijakan yang dibuat, dan memperhatikan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Di samping itu, perlu pula diperhatikan agar kebijakan perlindungan pekerja yang dibuat tidak memperbesar diskriminasi antara pekerja yang terlindungi (pekerja sektor formal) dan pekerja yang tidak terlindungi (pekerja sektor informal) oleh kebijakan tersebut.

ANALISIS KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA (UU No. 13 Tahun 2003)
Dalam Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK dan pembayaran uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja.
Upah Minimum
Pengaturan mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 – 90. Dalam pasal-pasal tersebut dinyatakan bahwa salah satu komponen/kebijakan pengupahan adalah upah minimum (pasal 88). Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi (pasal 88). Upah minimum ditetapkan berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (pasal 89). Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum tersebut dapat dilakukan penangguhan (pasal 90).
Jika diterapkan secara proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam melindungi kelompok kerja marjinal yang tidak terorganisasi di sektor modern. Namun demikian, kenaikan upah minimum yang tinggi dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah di Indonesia belakangan ini telah berdampak pada turunnya keunggulan komparatif industri-industri padat karya, yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja akibat berkurangnya aktivitas produksi.
PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Pengaturan mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab XII pada pasal 150 – 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan dengan serikat pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut tidak mendapatkan persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya (pasal 152). Selanjutnya dalam pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan yang diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan tidak diperbolehkannya PHK.
Hubungan Kerja
Dalam pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Waktu Kerja
Terkait dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan mempekerjakan pekerja perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan hamil pada malam hari (Pukul 23.00 7.00). Selanjutnya pada pasal 77 dinyatakan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
REKOMENDASI
Dari kajian mengenai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka tulisan ini merekomendasikan beberapa poin rekomendasi dalam rangka menyeimbangkan antara tujuan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, sebagai berikut:
Substansi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rekruitmen, PHK, upah minimum, perlindungan kerja dan waktu kerja, dengan tetap memperhatikan jaminan keberadaan upah dan perlindungan kerja yang layak, serta struktur pasar kerja di Indonesia, perlu ditinjau ulang dalam konteks keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Terkait dengan struktur pasar kerja di Indonesia, yang harus diperhatikan adalah karakteristik pasar kerja yang surplus tenaga kerja, lapangan kerja sektor informal yang sangat besar, banyaknya pekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, rendahnya kualitas tenaga kerja. Data tahun 2005 menunjukkan 70,06 persen tenaga kerja berada pada sektor informal, 31,22 persen yang bekerja berada dalam kondisi setengah menganggur, 60,0 persen berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan besarnya proporsi pekerja kelompok marjinal, yang berdasarkan pengalaman negara-negara dalam penerapan pasar kerja fleksibel merupakan kelompok yang paling rentan terkena dampak degradasi pasar kerja fleksibel.
UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah dikeluarkan pemerintah pada dasarnya telah mengacu pada kebijakan perlindungan tenaga kerja yang lebih komprehensif. Namun demikian, implementasi UU tersebut belum berlaku efektif dalam menjamin pemerataan jaminan sosial.
PP No. 31 Tahun 2006 Tentang sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu segera diefektifkan dalam kerangka meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui berbagai pelatihan-pelatihan kerja. Sebagai dampak era otonomi daerah, Departemen Tenaga Kerja sebagai instansi yang memiliki kewenangan utama dalam pelatihan tenaga kerja ini telah kehilangan kendali dalam mengarahkan kebijakan pelatihan-pelatihan tenaga kerja di daerah. Balai Latihan Kerja (BLK) sebagai salah satu pusat pelatihan, di banyak daerah pada saat ini berada dalam kondisi “mati suri”.
Perlunya peningkatan peran pemerintah dalam memfasilitasi dialog, komunikasi, dan negosiasi untuk mendorong hubungan yang baik antara pengusaha dengan pekerja seperti.
Perlunya meningkatkan aksesibilitas pencari kerja pada informasi pasar kerja. PP No. 15 Tahun 2007 telah mengatur tentang tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja. Namun demikian, dalam PP tersebut belum terlihat secara tegas upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas pencari kerja.
Perlunya meningkatkan kualitas sumberdaya manusia aparat yang terkait dengan proses pengawasan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam pengawasan bertujuan untuk mencegah terjadinya praktek-praktek penyelewengan peraturan-peraturan yang dapat merugikan buruh. Di sisi lain, peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial diperlukan dalam rangka meningkatkan kepastian hubungan industrial dan dapat menekan biaya tinggi yang selama ini dialami baik oleh pengusaha maupun pekerja.
Sumber : http://adindaamaliaputri.blogspot.com/2012/02/artikel-tentang-ketenagakerjaan.html

Minggu, 21 April 2013

Hubungan Industrial Pancasila

Pengertian
Hubungan Industrial Pancasila adalah hubungan antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa (pekerja, pengusaha dan pemerintah) didasarkan atas nilai yang merupakan manisfestasi dari keseluruhan sila-sila dari pancasila dan Undang-undang 1945 yang tumbuh dan berkembang diatas kepribadian bangsa dan kebudayaan nasional Indonesia.

2. Tujuan
Tujuan hubungan industrial pancasila adalah :

a) Mensukseskan pembangunan dalam rangka mengemban cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur.
b) Ikut berperan dalam melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
c) Menciptakan ketenangan, ketentraman dan ketertiban kerja serta ketenangan usaha.
d) Meningkatkan produksi dan produktivitas kerja.
e) Meningkatkan kesejahteraan pekerja serta derajadnya sesuai dengan martabatnya manusia.

Pokok-pokok Pikiran dan Pandangan Hubungan Industrial Pancasila

1. Pokok-pokok Pikiran
a) Keseluruhan sila-sila dari pada pancasila secara utuh dan bulat yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
b) Pengusaha dan pekerja tidak dibedakan karena golongan, kenyakinan, politik, paham, aliran, agama, suku maupun jenis kelamin.
c) Menghilangkan perbedaan dan mengembangkan persamaan serta perselisihan yang timbul harus diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat.

2. Asas-asas untuk mencapai tujuan
a) Asas-asas pembangunan nasional yang tertuang dalam GBHN seperti asas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, demokrasi, adil dan merata, serta keseimbangan.
b) Asas kerja yaitu pekerja dan pengusaha merupakan mitra dalam proses produksi.

3. Sikap mental dan sikap social
Sikap social adalah kegotong-royongan, toleransi, saling menghormati. Dalam hubungan industrial pancasila tidak ada tempat bagi sikap saling berhadapan/ sikap penindasan oleh yang kuat terhadap yang lemah.

C. Pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila

1. Lembaga kerjasama Bipartit dan Tripartit

a. Lembaga kerjasama bipartite dikembangkan perusahaan agar komunikasi antar pihak pekerja dan pihak pengusaha selalu berjalan dengan lancer.
b. Lembaga kerjasama tripartite dikembangkan sebagai forum komunikasi, konsultasi dan dialog antar ketiga pihak tersebut.

2. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
a. Melalui kesepakatan kerja bersama dapat diwujudkan suatu proses musyawarah dan mufakat dalam mewujudkan kesepakatan kerja bersama.
b. Dalam kesepakatan kerja bersama semangat hubungan industrial pancasila perlu mendapat perhatian.
c. Setiap kesepakatan kerja bersama supaya paling sedikit harus memiliki suatu pendahuluan/mukadimah yang mencerminkan falsafah hubungan industrial pancasila.

3. Kelembagaan penyelesaian perselisihan industrial
a. Lembaga yang diserahi tugas penyelesaian perselisihan industrial perlu ditingkatkan peranannya melalui peningkatan kemampuan serta integritas personilnya.
b. Kelembagaan penyelesaian perselisihan baik pegawai perantara, arbitrase P4D/P4P yang berfungsi dengan baik akan dapat menyelesaikan perselisihan dengan cepat, adil, terarah dan murah.

4. Peraturan perundangan ketenagakerjaan
a. Peraturan perundangan berfungsi melindungi pihak yang lemah terhadap pihak yang kuat dan memberi kepastian terhadap hak dan kewajibannya masing-masing.
b. Setiap peraturan perundangan ketenagakerjaan harus dijiwai oleh falsafah hubungan industrial pancasila. Karena itu kalau perlu diciptakan peraturan perundangan yang baru yang dapat mendorong pelaksanaan hubungan industrial pancasila.

5. Pendidikan hubungan industrial
a. Agar falsafah hubungan industrial pancasila dipahami oleh masyarakat, maka falsafah itu disebarluaskan baik melalui penyuluhan maupun melalui pendidikan.
b. Penyuluhan dan pendidikan mengenai hubungan industrial pancasila ini perlu dilakukan baik kepada pekerja/serikat pekerja maupun pengusaha dan juga aparat pemerintah.

D. Beberapa masalah khusus yang harus dipecahkan dalam pelaksanaan hubungan industrial pancasila

1. Masalah pengupahan
Apabila didalam perusahaan dapat diciptakan suatu system pengupahan yang akibat akan dapat menciptakan ketenagakerjaan, ketenangan usaha serta peningkatan produktivitas kerja. Apabila didalam perusahaan tidak dapat diciptakan suatu system pengupahan yang baik, maka upah akan selalu menjadi sumber perselisihan didalam perusahaan.

2. Pemogokan
Pemogokan akan dapat merusak hubungan antara pekerja dan pengusaha. Hak mogok diakui dan diatur penggunaannya. Oleh sebab itu walaupun secara yuridis dibenarkan tetapi secara filosofis harus dihindari.

sumber :  http://dwiangghina31207314.wordpress.com/2010/04/14/bab-ii-hubungan-industrial pancasila/