Namun
demikian, dalam konteks ketenagakerjaan, berbagai perbaikan pada
indikator makroekonomi tersebut ternyata belum memberikan dampak yang
menggembirakan terhadap penciptaan kesempatan kerja. Hal ini terlihat
dari kenyataan meningkatnya angka pengangguran baik secara absolut
maupun relatif. Pada tahun 2000 tingkat pengangguran terbuka sebesar
6,08 persen menjadi 9,67 persen pada tahun 2003 dan 9,75 persen pada
tahun 2007. Secara absolut, pengangguran terbuka bertambah sebanyak 4,74
juta dari 5,81 juta pada tahun 2000 menjadi 9,53 juta pada tahun 2003
dan 10,55 juta pada tahun 2007. (Statistik Indonesia berbagai tahun,
Badan Pusat Statistika).
Pasar
kerja di Indonesia – sebagaimana karakteristik umumnya negara sedang
berkembang – bersifat dualistik. Lapangan kerja sektor modern (formal)
dengan jumlah tenaga kerja yang relatif sedikit dan sektor tradisional
(informal) dengan jumlah tenaga kerja yang besar, berjalan secara
bersamaan dalam perekonomian. Sektor modern memiliki upah yang lebih
tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan sektor
tradisional. Selain itu, pekerja sektor modern memiliki kesempatan untuk
memperoleh keterampilan dan akses terhadap pelatihan sehingga memiliki
peluang yang lebih besar untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
mereka. Sebaliknya, pekerja di sektor tradisional melakukan kegiatan
yang rendah tingkat produktivitasnya dengan upah rendah. Kesenjangan
produktivitas-upah antara sektor modern dan sektor tradisional juga
mencerminkan perbedaan tingkat pendidikan. Pekerja sektor modern
berpendidikan lebih tinggi dibandingkan pekerja sektor tradisional.
Oleh
karenanya, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya terkait
dengan upaya perluasan kesempatan kerja, tetapi juga mencakup upaya
memfasilitasi perpindahan ’surplus tenaga kerja’ keluar dari sektor
informal ke sektor modern yang lebih produktif dan memberikan upah yang
lebih tinggi. Perpindahan surplus tenaga kerja dari sektor informal ini
selain bertujuan meningkatkan hak-hak tenaga kerja juga menjadi tujuan
utama dari siklus pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan pengurangan
kemiskinan. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut secara selaras, maka
dalam konteks kebijakan tenaga kerja di Indonesia, perlu dijalin
keseimbangan yang tepat antara perlindungan tenaga kerja dan perluasan
kesempatan kerja.
Tulisan
ini menganalisis kebijakan tenaga kerja di Indonesia dalam kaitannya
dengan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja. Diawali
dengan pembahasan mengenai trade-off antara perlindungan tenaga kerja
dan perluasan kesempatan kerja. Dilanjutkan dengan analisis mengenai
kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia khususnya UU No. 13 Tahun 2003.
Selanjutnya, pada bagian akhir adalah rekomendasi dalam penerapan
kebijakan ketenagakerjaan yang berorientasi pada keseimbangan
perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja.
TRADE-OFF ANTARA PERLINDUNGAN TENAGA KERJA DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Perlunya
kebijakan perlindungan tenaga kerja didasarkan pada kenyataan bahwa
setiap pekerja menghadapi berbagai risiko, baik di dalam maupun di luar
pekerjaan. Risiko-risiko tersebut berpotensi menurunkan tingkat
kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Beberapa risiko pasar kerja
(labor market risks) yang utama adalah:
Risiko
kehilangan pekerjaan (unemployment risks): Kehilangan pekerjaan dapat
terjadi baik karena faktor kinerja individu, kinerja perusahaan maupun
karena faktor ekonomi makro. Kehilangan pekerjaan akan berdampak secara
langsung pada penurunan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.
Risiko
kesehatan (health risks): Risiko kesehatan yang berdampak pada
penurunan/kehilangan sumber pendapatan dari seorang pekerja dapat
terjadi baik pada saat sedang bekerja maupun di luar pekerjaan.
Risiko
penurunan upah riil (declining wage risks): Penurunan upah riil adalah
penurunan daya beli, sehingga secara langsung menurunkan tingkat kesej
ahteraan pekerja dan keluarganya. Penurunan upah riil dapat terjadi
karena pemotongan tingkat upah atau karena laju inflasi yang lebih
tinggi dari kenaikan upah nominal.
Risiko
usia lanjut (old-age risks): Dampak menjadi tua bagi seorang pekerja
adalah menurunnya tingkat produktivitas, dan kehilangan pekerjaan ketika
kondisi fisik sebagai akibat faktor usia tidak memungkinkan lagi bagi
pekerja tersebut untuk bekerja. Ini berarti bahwa semakin tua seorang
pekerja akan menyebabkan risiko menurunnya/kehilangan pendapatan mereka.
Risiko-risiko
tersebut dapat bersifat individual pekerja ataupun melibatkan banyak
pekerja. Munculnya risiko-risiko tersebut dapat berkaitan dengan kondisi
individu, kondisi mikro perusahaan ataupun kondisi perekonomian secara
makro yang tidak menguntungkan. Oleh karenanya, tujuan dari kebijakan
perlindungan tenaga kerja adalah untuk meminimalkan dampak negatif dari
berbagai risiko pasar kerja terhadap kesejahteraan pekerja dan
keluarganya.
Secara
garis besar, kebijakan perlindungan pekerja dapat dikelompokkan ke
dalam pengaturan hubungan pekerjaan (employment relations) dan
penyediaan jaminan sosial (social security).Kebijakan hubungan pekerjaan
atau hubungan industrial umumnya mencakup pengaturan dan syarat- syarat
hubungan kerja antara pekerja dan pemberi kerja, mulai dari rekrutmen,
interaksi selama masa kerja, sampai dengan pemutusan hubungan kerja
(PHK). Bentuk-bentuk jaminan sosial umumnya terdiri dari tabungan wajib
hari tua (provident fund), asuransi kesehatan (health insurance),
asuransi kematian (life insurance), kompensasi atau asuransi kecelakaan
kerja (work accident insurance), pesangon untuk pemutusan hubungan kerja
atau asuransi pengangguran (unemployment insurance), dan lain-lain.
Biaya-biaya
yang timbul sebagai akibat kebijakan perlindungan tenaga kerja baik
dari sisi pengaturan hubungan kerja maupun penyediaan jaminan sosial,
ditanggung sepenuhnya atau sebagian besar oleh pemberi kerja. Oleh
karenanya, dilihat dari sudut pandang pemberi kerja penerapan kebijakan
ini menambah terhadap total biaya tenaga kerja (labor costs).
Sebagai
akibat dari hal ini, apabila kebijakan pelindungan pekerja terlalu
berlebihan maka dapat timbul dampak negatif yang tidak diinginkan. Dari
sudut pandang pemberi kerja, meningkatnya total biaya tenaga kerja yang
terlalu besar dapat menjadi hambatan (disincentive) terhadap penciptaan
kesempatan kerja. Sebaliknya bagi pekerja, kebijakan pelindungan pekerja
yang terlalu berlebihan dapat menjadi hambatan untuk bekerja. Bagi
perekonomian secara makro, hal ini dapat menciptakan kekakuan
(inflexibility) dalam pasar kerja.
Berbagai
fakta di berbagai negara menunjukkan bahwa kebijakan perlindungan
tenaga kerja yang berlebihan dapat berdampak negatif terhadap kesempatan
kerja (Suharyadi,2003). Di negara-negara Eropa Barat, penerapan
kebijakan pemberian tunjangan pengangguran yang relatif tinggi
(generous) telah berdampak pada tingginya tingkat pengangguran. Di
Bangladesh, kebijakan yang melarang pekerja anak di bawah usia 15 tahun,
berdampak pada pemecatan pekerja anak secara besar-besaran yang justru
menyebabkan anak-anak ini terpaksa menjadi anak-anak jalanan dan berubah
profesi menjadi pengemis atau pekerja seks komersial. Demikian juga,
larangan bagi pemberi kerja untuk merekrut pekerja yang bukan anggota
serikat pekerja di sektor pelabuhan di Australia menyebabkan pasar kerja
di sektor ini menjadi bersifat monopsonistik sehingga efisiensi sektor
secara keseluruhan menjadi rendah. Studi pada skala makro pada 48 negara
juga menunjukkan fakta adanya hubungan negatif antara banyaknya
kebijakan perlindungan tenaga kerja dengan pertumbuhan kesempatan kerja
dan kenaikan upah riil.
Oleh
karena itu, pembuatan kebijakan perlindungan pekerja perlu didasarkan
pada kebutuhan riil pekerja terhadap perlindungan, dengan
memperhitungkan seberapa besar dan siapa yang akan menanggung biaya
kebijakan yang dibuat, dan memperhatikan kondisi perekonomian secara
keseluruhan. Di samping itu, perlu pula diperhatikan agar kebijakan
perlindungan pekerja yang dibuat tidak memperbesar diskriminasi antara
pekerja yang terlindungi (pekerja sektor formal) dan pekerja yang tidak
terlindungi (pekerja sektor informal) oleh kebijakan tersebut.
ANALISIS KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA (UU No. 13 Tahun 2003)
Dalam
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat empat
kebijakan pokok yang terkait dengan perlindungan tenaga kerja dan
perluasan kesempatan kerja yaitu kebijakan upah minimum, ketentuan PHK
dan pembayaran uang pesangon, ketentuan yang berkaitan hubungan kerja
dan ketentuan yang berkaitan dengan jam kerja.
Upah Minimum
Pengaturan
mengenai upah minimum dijelaskan pada pasal 88 – 90. Dalam pasal-pasal
tersebut dinyatakan bahwa salah satu komponen/kebijakan pengupahan
adalah upah minimum (pasal 88). Pemerintah menetapkan upah minimum
berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi (pasal 88). Upah minimum ditetapkan berdasarkan
wilayah provinsi atau kabupaten/kota serta berdasarkan sektor pada
wilayah provinsi atau kabupaten/kota (pasal 89). Pengusaha dilarang
membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang
tidak mampu membayar upah minimum tersebut dapat dilakukan penangguhan
(pasal 90).
Jika
diterapkan secara proporsional, kebijakan upah minimum bermanfaat dalam
melindungi kelompok kerja marjinal yang tidak terorganisasi di sektor
modern. Namun demikian, kenaikan upah minimum yang tinggi dalam kondisi
pertumbuhan ekonomi yang rendah di Indonesia belakangan ini telah
berdampak pada turunnya keunggulan komparatif industri-industri padat
karya, yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja
akibat berkurangnya aktivitas produksi.
PHK dan Pembayaran Uang Pesangon
Pengaturan
mengenai PHK dan pembayaran uang pesangon dijelaskan pada Bab XII pada
pasal 150 – 172. PHK hanya dapat dilakukan perusahaan atas perundingan
dengan serikat pekerja (pasal 151), dan jika dari perundingan tersebut
tidak mendapatkan persetujuan maka permohonan penetapan pemutusan
hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang mendasarinya
(pasal 152). Selanjutnya dalam pasal 153-155 dijelaskan alasan-alasan
yang diperbolehkannya PHK dan alasan-alasan tidak diperbolehkannya PHK.
Hubungan Kerja
Dalam
pasal 56 dinyatakan perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau
untuk waktu tidak tertentu. Selanjutnya, pada pasal 59 dinyatakan
perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan
tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a. pekerjaan yang sekali selesai
atau yang sementara sifatnya; b. pekerjaan yang diperkirakan
penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3
(tiga) tahun; c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan
yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Waktu Kerja
Terkait
dengan waktu kerja, pada pasal 76 dinyatakan adanya larangan
mempekerjakan pekerja perempuan di bawah 18 tahun dan pekerja perempuan
hamil pada malam hari (Pukul 23.00 7.00). Selanjutnya pada pasal 77
dinyatakan kewajiban perusahaan untuk melaksanakan ketentuan waktu kerja
7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau b. 8 (delapan) jam
1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima)
hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
REKOMENDASI
Dari
kajian mengenai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, maka tulisan ini merekomendasikan beberapa poin
rekomendasi dalam rangka menyeimbangkan antara tujuan perlindungan
tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, sebagai berikut:
Substansi
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan rekruitmen, PHK,
upah minimum, perlindungan kerja dan waktu kerja, dengan tetap
memperhatikan jaminan keberadaan upah dan perlindungan kerja yang layak,
serta struktur pasar kerja di Indonesia, perlu ditinjau ulang dalam
konteks keseimbangan perlindungan tenaga kerja dan perluasan kesempatan
kerja. Terkait dengan struktur pasar kerja di Indonesia, yang harus
diperhatikan adalah karakteristik pasar kerja yang surplus tenaga kerja,
lapangan kerja sektor informal yang sangat besar, banyaknya pekerja
berada dalam kondisi setengah menganggur, rendahnya kualitas tenaga
kerja. Data tahun 2005 menunjukkan 70,06 persen tenaga kerja berada pada
sektor informal, 31,22 persen yang bekerja berada dalam kondisi
setengah menganggur, 60,0 persen berpendidikan SD. Hal ini menunjukkan
besarnya proporsi pekerja kelompok marjinal, yang berdasarkan pengalaman
negara-negara dalam penerapan pasar kerja fleksibel merupakan kelompok
yang paling rentan terkena dampak degradasi pasar kerja fleksibel.
UU
No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang telah
dikeluarkan pemerintah pada dasarnya telah mengacu pada kebijakan
perlindungan tenaga kerja yang lebih komprehensif. Namun demikian,
implementasi UU tersebut belum berlaku efektif dalam menjamin pemerataan
jaminan sosial.
PP
No. 31 Tahun 2006 Tentang sistem Pelatihan Kerja Nasional perlu segera
diefektifkan dalam kerangka meningkatkan kualitas tenaga kerja melalui
berbagai pelatihan-pelatihan kerja. Sebagai dampak era otonomi daerah,
Departemen Tenaga Kerja sebagai instansi yang memiliki kewenangan utama
dalam pelatihan tenaga kerja ini telah kehilangan kendali dalam
mengarahkan kebijakan pelatihan-pelatihan tenaga kerja di daerah. Balai
Latihan Kerja (BLK) sebagai salah satu pusat pelatihan, di banyak daerah
pada saat ini berada dalam kondisi “mati suri”.
Perlunya
peningkatan peran pemerintah dalam memfasilitasi dialog, komunikasi,
dan negosiasi untuk mendorong hubungan yang baik antara pengusaha dengan
pekerja seperti.
Perlunya
meningkatkan aksesibilitas pencari kerja pada informasi pasar kerja. PP
No. 15 Tahun 2007 telah mengatur tentang tata cara memperoleh informasi
ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga
kerja. Namun demikian, dalam PP tersebut belum terlihat secara tegas
upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan aksesibilitas pencari
kerja.
Perlunya
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia aparat yang terkait dengan
proses pengawasan dan penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam pengawasan
bertujuan untuk mencegah terjadinya praktek-praktek penyelewengan
peraturan-peraturan yang dapat merugikan buruh. Di sisi lain,
peningkatan kualitas sumberdaya manusia aparat dalam penyelesaian
perselisihan hubungan industrial diperlukan dalam rangka meningkatkan
kepastian hubungan industrial dan dapat menekan biaya tinggi yang selama
ini dialami baik oleh pengusaha maupun pekerja.
Sumber : http://adindaamaliaputri.blogspot.com/2012/02/artikel-tentang-ketenagakerjaan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar